Kamis, 22 Desember 2011

Pendidikan Matematika Realistik

Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Pengertian belajar, menurut Fontana adalah, "proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman". Sedangkan pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan pendidikan matematika realistik (RME) diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Nederlands. Pendekatan pendidikan matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik. Realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada, baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari. Pembelajaran ini menuntut guru dalam penyampaian materi matematika berangkat dari hal-hal nyata atau pernah dialami siswa. Sehingga menurut Suharta dalam pendidikan matematika realistik, yang lebih penting adalah siswa/peserta didik dapat menempatkan dirinya di dalam konteks, dan konteks itu sendiri dapat diorganisir secara matematis.
Dalam pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan motivator, membangun pembelajaran yang interaktif, memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif berinteraksi, berargumen, ataupun menyangkal argumen dengan landasan yang tepat untuk dapat menemukan konsep matematika dalam proses pembelajaran, dan mengaitkan kurikulum dengan dunia nyata. Ini berarti guru tidak langsung menjelaskan materi yang diajarkan melainkan memberikan masalah kontekstual kepada siswa secara berkelompok ataupun individu. Hal di atas sesuai dengan pendapat Gravemeijer mengungkapkan bahwa “Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity”, yang menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal yang menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Selanjutnya menurut Freudenthal bahwa pada dasarnya pendekatan realistik membimbing siswa untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika (guided reinvention).
Penemuan kembali terbimbing (guided reinvention) konsep-konsep matematika yaitu melalui proses matematisasi (process of mathematization). Menurut Treffers dan Goffree, “Proses matematisasi dibedakan menjadi dua komponen proses yaitu horizontal mathematization dan vertical mathematization”.
Matematisasi horizontal berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya bersama intuisi yang dijadikan alat untuk menyelesaikan masalah dari dunia nyata, sedangkan matematisasi vertikal berkaitan dengan proses organisasi kembali pengetahuan yang diperoleh dalam simbol-simbol matematika yang lebih abstrak. Berbagai aktivitas dalam matematisasi horisontal meliputi: pengidentifikasian, perumusan, pemvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentrasnformasian masalah dunia real ke masalah matematika, sedangkan matematika vertikal meliputi: representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian.
Filsafat pendekatan pendidikan matematika realistik menurut Freudenthal yaitu:
1.         Matematika adalah aktivitas semua.
2.      Pelajaran matematika meliputi semua tingkatan tujuan, yaitu: tingkatan rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi.
3.         Situasi alam nyata sebagai titik tolak pembelajaran.
4.         Model membantu siswa belajar matematika pada tingkatan abstraksi yang berbeda.
5.         Setiap unit dihubungkan dengan unit-unit yang lain.
6.         Siswa menemukan kembali matematika secara berarti.
7.         Interaksi penting untuk belajar matematika.
8.         Guru dan siswa berbeda peran.
9.         Beberapa strategi penyelesaian suatu masalah adalah penting.
10.     Siswa tidak harus berpindah secara cepat ke hal yang abstrak.
Menurut Gravemeijer terdapat tiga prinsip utama dari Pendidikan Matematika Realistik (PMR), yaitu:
a.    Guided reinvention and progressive mathematization (penemuan kembali terbimbing dan matematisasi progresif)
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam PMR, dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru di awal pembelajaran, kemudian dalam menyelesaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat, dan rumus-rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat, dan rumus-rumus matematika itu ditemukan melalui proses matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Prinsip penemuan ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.
b.         Didactical phenomenology (fenomenologi didaktis)
Prinsip ini dimaksudkan bahwa siswa memahami konsep matematika bertolak dari masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah (fenomena-fenomena) yang berasal dari dunia nyata atau dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah nyata. 
c.          Self – developed models (model-model dibangun sendiri)
Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.
Menurut Gravemeijer, pembelajaran dengan pendekatan PMR  mempunyai lima karakteristik yaitu:
1)         Phenomenological exploration
Penyajian matematika dengan menggunakan masalah-masalah konstekstual (masalah konstekstual sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul dan sebagai aplikasi/terapan)
2)         The use models or bridging by vertical instrument
Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal. Perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi daripada hanya menstransfer rumus atau matematika formal secara langsung.
3)         The use of students own production and constructions of students constribution
Siswa memproduksi dan mengkonstruksi sendiri (menentukan strategi dan algoritma, dalam menyelesaikan masalah), yang akhirnya dapat membimbing siswa dari tingkat informal menuju tingkat formal. Pada saat guru menawarkan kepada siswa kesempatan mengkonstruksi, mungkin konstruksinya tidak sesuai dengan yang diharapkan, untuk itu memerlukan keluwesan seorang guru dalam mengajar.

4)         The interactive character of teaching process or interactivity
Terdapat interaksi yang terus menerus antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, juga antara siswa dengan guru, mengenai proses konstruksi tersebut, sedemikian hingga setiap siswa mendapat manfaat positif dari interaksi tersebut.
5)         Intertwinning of various learning strand
Membuat hubungan antar topik atau antar pokok bahasan sebagai usaha untuk mengintegrasikan bahan-bahan matematika yang diikat oleh konteks dan tema.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;